Surat Terbuka Gembala Socratez Yoman: TNI Harus Belajar Sejarah

Reporter : Redaksi Editor: Cyriakus Kiik
  • Bagikan
Timorline.com

Saudara Pangdam, seluruh kekejaman negara melalui militer ini melahirkan pelanggaran HAM berat yang berlangsung dari waktu ke waktu yang mengindikasikan terjadinya proses pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua secara sistematis, terstruktur, masif, meluas, berkelanjutan, dan kolektif.

Saudara Pangdam, kekejaman dan kejahatan ini digambarkan sebagai LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan: “Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia.” (hal. 255).

“… kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal. 257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout, OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).

Baca Juga :  Pengisian BBM Kendaraan Dinas di Malaka Diwajibkan Pakai Barkot, Nando Seran: Tapi Mau Urus Malahan Tidak Bisa

Penyebab LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future (2008), yaitu:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Saudara Pangdam, melihat ketidakadilan dan kekejaman serta tragedi kemanusiaan yang kronis atau menahun seperti ini, kita harus akhiri. Maka Saudara Pangdam (perlu) mendorong pemerintah Indonesia untuk duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Baca Juga :  Advokat Umum Pengadilan Eropa Kecam Polisario dan Minta Perjanjian Kerja Sama Pertanian dan Perikanan Maroko-EU Dipertahankan

Saudara Pangdam, saya sangat mengerti dan tahu, usulan penyeleyesaian seperti ini ditolak keras oleh para Jenderal dalam tubuh militer. Namun kalau menolak dan tidak setuju terus-menerus, maka HARUSKAH NKRI harga mati dipertahankan dengan cara-cara yang tidak bermartabat dengan menangkap, menyiksa, menembak dan menewaskan rakyat kecil?

Saudara Pangdam, hukum Tabur dan Tuai itu tetap berlaku kapan saja dan kepada siapa saja sesuai perilaku mereka. Tolonglah tertibkan anggota-anggota TNI yang berwatak barbar, kriminal, rasialis, dan seperti teroris yang sangat merendahkan martabat kemanusiaan kami POAP itu, supaya hukuman dan murka Tuhan tidak menimpa mereka, keluarga dan anak-cucunya.

Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.

Ita Wakhu Purom, 23 Maret 2024
Gembala Dr. A.G. Socratez Sofyan Yoman, MA

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).

Kontak: 08124888458 / 081288887882

  • Bagikan