Kemanusiaan untuk Sakit Berat….

Reporter : Redaksi Editor: Cyriakus Kiik
  • Bagikan
Timorline.com

Masih terbilang paman Hila, Pascal dari Bekasi tiba dengan “gerobag roda empatnya”, setelah Pieter bersicepat menghubunginya. “Mekas Hila segera kami bawa ke rumah sakit swasta tak jauh dari rumah saya, di dekat terminal Kampung Melayu,” urai Pieter, warga Kayumanis, Jakarta Pusat (Jakpus).

Ia dirawat sebagai pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pemrintah)i yang kepesertaannya diperoleh Pieter seketika lewat “perjuangan cepat dan keras”. “Sehari jadi, setelah terpaksa saya banting kartu pers di depan petugas BPJS,” kata Piter, jurnalis senior yang kini juga jurnalis media online.

Sebelumnya, Hila tidak terdaftar sebagai peserta BPJS. Artinya ia bukan pasien yang dijamin oleh Pemerintah alias biaya sepenuhnya harus tanggung sendiri.

Medsos

TAK seperti mereka yang “gampang berbagi sebelum berpikir panjang”, kali ini manfaat positif media sosial (medsos) dan grup whatsapp (wa), terasa benar-benar efektif. Dalam hitungan hari, tersebar kabar tentang Hila yang terserang stroke berat. Ia jauh pula dari sanak saudara kandung.

Pieter yang rajin berbagi foto-foto dan informasi perkembangan Hila di face book atau grup wa. Kunjungan serta bantuan berupa uang terus mengalir masuk langsung ke rekening Hila yang disebar Pieter.

Dengan kepedulian teman-teman beda etnis dan agama di Kupang (NTT), Surabaya (Jatim), dan seputar Jakarta, sepekan setelah dirawat, Hila dapat keluar dari rumah sakit. Kemudian, ia ditempatkan oleh Pieter dan keluarga di sebuah bilik kos di sebuah gang di Tegalan, Matraman, Jakarta Pusat (Jakpus). Selanjutnya, dengan BPJS ia rutin kontrol di sebuah rumah sakit sewasta tak jauh dari rumah kosnya.

Baca Juga :  Komisi III DPRD Malaka Kunjungi Lokasi RS Pratama Malaka

Makan bergizi dan “berkhasiat” setiap hari disuapkan kepada Hila oleh Pieter, putra bungsu, dan istrinya, Ny. Yuliana. Mereka bertiga setiap hari bergantian sengaja datang ke kamar kos Hila, untuk merawatnya. Saat itu mau duduk saja harus disandarkan. Kepadanya dikenakan pampers, agar kotorannya tak “kucar-kacir” ke mana-mana. Pipisnya lewat selang kateter dialirkan ke “urine bag”.

Kuasa Allah Sang Mahapentu bekerja. Delapan belas hari kemudian, Hila sudah mampu bangkit. Dia berjalan kaki dengan walker. Sesekali, bahkan, ia mampu berjalan mengunakan “tongkat kaki tiga” di depan rumah kosnya. Kantong plastik pipis tetap menempel menggelantung di paha kaki kanannya.

Persoalan baru, muncul. Penghuni kamar kos yang lain protes karena merasa terganggu dengan kehadiran Hila sejak ia jadi penghuni di salah satu kamar kos di situ. Toh kegembiraan atas kemajuan kesehatannya, tak dapat ditutupi.

Sejalan dengan anjuran banyak dokter bahwa pasien sakit berat, termasuk penderita stroke berat, sebaiknya intens didampingi suami, istri, anak atau saudara kandungnya, seorang dermawan terpanggil membiayai pemulangan Hila ke NTT.

Baca Juga :  Bayi Ibu Maria Gaudensiana Funan Lahir Meninggal, Inilah Penjelasan Kepala Puskesmas Tunabesi-Malaka

Dermawan itu, pensiunan pemimpin redaksi (Pemred) sebuah koran harian nasional terkemuka di Jakarta. “Pak Rikard Bagun menanggung biaya pemulangannya,” ungkap Hila Bame, Pemred inakoran.com.

Pieter Sambut, yang di NTT bertetangga kampung dengan Hila, berkenan bersama putra bungsunya (Venanto) mengantarkannya. Dibekali surat pengantar dari dr. Norma di rumah sakit tempat semula Hila dirawat di Jaktim, mereka pun memulai perjalanan panjang membawa Hila.

Tak terbayangkan, tetap dengan selang kateter terpasang urine bag menggelantung, mereka menumpang kereta dari Gambir ke Surabaya, Kamis (14/9/23). Dokter memang tak merekomendasi Hila dibawa dengan pesawat terbang.

Tiba di Ibu Kota Jatim itu esok paginya (15/9/23). Mereka bermalam di sebuah hotel dekat Pelabuhan Tanjung Perak. Ini untuk memermudah menjangkau pelabuhan. Jadwal keberangkatan kapal fery tujuan Wae Kelambu, Labuanbajo, baru Jumat jelang Tengah hari (16/9/23).

Dimulailah pelayaran sekitar 32 jam menuju Wae Kelambu, setelah singgah di Pelabuhan Lembar, NTB. Selama dalam perjalanan panjang itu, Pieter bergantian dengan Venanto terus melayani “saudara laki-laki tuanya”.

  • Bagikan