Kinerja Polri Buruk, TNI Menggebuk!

Reporter : Redaksi Editor: Redaksi
  • Bagikan
Timorline.com

Lihatlah si Bolong, Aksan, Rusmini, dan sekian polisi yang jadi korban akibat membongkar perilaku bobrok para anggota di internalnya. Mereka semua dipelasah, meminjam istilah orang Sumatera. Yang lainnya takut dan memilih diam. Ada banyak polwan jadi gundik boss-nya, ada banyak anak buah jadi tumbal perilaku korup dan pungli atasannya, ada banyak keluarga yang ditelantarkan oleh kepala rumah tangga yang berprofesi polisi dan atau aparat hukum.

Mengurus institusinya saja keteteran, bagaimana mungkin lembaga yang dibiayai ratusan triliun uang rakyat itu bisa mengurus penegakan hukum bagi 278 juta penduduk Indonesia? Belum lagi jika kita bicara urusan polisi dengan lembaga lain, semisal Polri dengan KPK yang sering berebut lahan garapan yang gemuk berlumpur moral bejat.

Sebagai generasi yang pernah hidup di era orde baru, saya menilai bangsa ini masih memerlukan kepemimpinan ala orde baru yang tegas, keras, dan memaksa. Perlu dipikirkan untuk melakukan revolusi di tubuh penegak hukum, terutama Polri, agar negara demokrasi berasaskan Pancasila dapat diwujudkan. Bukan negara dengan kewenangan hukum tak terbatas yang diserahkan bulat-bulat kepada para wereng coklat itu.

Baca Juga :  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Pers, terutama yang berbasis jurnalisme warga, yang diharapkan dapat menjadi kontrol pengembangan negara demokrasi yang berlandaskan ‘hukum sebagai panglima’, akhirnya harus menyerah di cengkeraman UU ITE alias undang-undang taik. Satu hal yang boleh dikatakan sebagai sifat buruk orde baru dan tidak sejalan dengan demokrasi ala jaman now adalah pengekangan suara rakyat, pembredelan media, dan berbagai kebijakan memberangus suara rakyat.

Namun, apa bedanya dengan yang terjadi saat ini? Justru yang ada sekarang adalah pembuatan aturan pengontrol suara rakyat yang dijadikan sumber penghasilan gelap bagi aparat hukum dimana-mana.

Jaman orde baru, hanya pemerintah yang bertindak represif. Sekarang, siapa pun sesuka hati bisa melakukan tindakan represif terhadap siapa pun yang tidak disukai, menggunakan tangan-tangan aparat hukum. Lembaga partikelir dewan pecundang pers, misalnya, bisa dengan sesuka hati menyerahkan wartawan ke polisi untuk proses hukum hanya karena si wartawan bukan kaki tangan dewan yang saat ini sedang rebutan periuk nasi dengan BNSP itu.

  • Bagikan